Just another WordPress.com site

Latest

Pepsi Commercial : Pepsi First Commercial 1950’s

Iklan yang berarti pesan yang menawarkan suatu produk yang ditujukan kepada masyarakat melalui suatu media (Kasali.1995:9). Iklan merupakan sarana komunikasi terhadap produk yang disampaikan melalui berbagai media dengan biaya pemrakarsa agar masyarakat tertarik untuk menyetujui dan mengikuti (Pujiyanto.2001:3-4). Iklan merupakan media informasi yang dibuat sedemikian rupa agar dapat menarik minat khalayak, orisinal, serta memiliki karakteristik tertentu dan persuasif sehingga para konsumen atau khalayak secara suka rela terdorong untuk melakukan sesuatu tindakan sesuai dengan yang diinginkan pengiklan (Jefkins, 1997:18).Ralph S. Alexander dalam Jefkins (1997:110) merumuskan dengan Association Marketing Association (AMA), bahwa iklan menegaskan empat pokok batasan, yaitu;

1) penyajian gagasan terhadap barang, yaitu suatu bentuk iklan yang ditampilkan
berdasarkan konsep produknya,
2) iklan ditujukan kepada kalayak, yaitu iklan dapat menjangkau masyarakat kelompok besar yang dipersempit menjadi kelompok pasar,
3) iklan mempunyai sponsor yang jelas, yaitu terciptanya iklan atas pemrakarsa perusahaan yang membiayainya,
4) iklan dikenai biaya penyajian, yaitu dalam penyebaran, penerbitan dan penayangan atas biaya perusahaan.

Fungsi iklan dalam pemasaran adalah memperkuat dorongan kebutuhan dan keinginan konsumen terhadap suatu produk untuk mencapai pemenuhan kepuasannya. Agar iklan berhasil merangsang tindakan pembeli, menurut Djayakusumah (1982:60) setidaknya harus memenuhi kriteria AIDCDA yaitu:

Attention : mengandung daya tarik
Interest : mengandung perhatian dan minat
Desire : memunculkan keinginan untuk mencoba atau memiliki
Conviction : menimbulkan keyakinan terhadap produk
Decision : menghasilkan kepuasan terhadap produk
Action : mengarah tindakan untuk membeli

Berdasarkan konsep AIDCDA, promosi periklanan harus diperlukan pengetahuan yang cukup tentang pola perilaku, kebutuhan, dan SEGMEN PASAR. Konsep tersebut diharapkan konsumen dapat melakukan pembelian berkesinambungan. Segala daya upaya iklan dengan gaya bahasa persuasinya berusaha membuat konsumen untuk mengkonsumsi, yang tidak memperdulikan status sosialnya. Cak Nun berpendapat;” iklan adalah anak jadah kebudayaan”, yaitu bagaimana cara mengolah kelemahan produk menjadi kelebihan itulah fungsinya sebagai ujung tombak pemasaran (Blank Magazine.
2002: 20).

Tujuan iklan menurut Rhenald Kasali (1995:159) biasanya dibangun atas empat komponen, yaitu:

1) Aspek perilaku, merupakan tindakan-tindakan yang diharapkan pada
calon pembeli,
2) Sikap yang diharapkan, yang menyangkut sikap atau keistimewaan produk,
3) Kesadaran, dalam mengembangkan produk-produk baru di pasaran merebut calon pembeli,
4) Positioning, sasaran konsumen.

Beberapa tendapat tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian periklanan
dapat ditinjau dari media, proses, gaya komunikasi, dan reaksi konsumen, yaitu:

1. Media informasi: Iklan merupakan suatu media informasi produk yang disampaikan
kepada konsumen.

2. Proses iklan: Penyampaian informasi produk yang diprakarsai produsen untuk
disampaikan melalui iklan ditujukan kepada konsumen sebagai penerima pesan.

3. Komunikasi persuasif: Gaya bujuk rayunya (persuasi) yang diterapkan pada iklan
mengakibatkan konsumen terbius masuk lingkaran konotasi positif terhadap produk
yang diinformasikan.

4. Reaksi Konsumen: Informasi yang jelas melalui iklan akan membuahkan reaksi atau tindakan hingga kesadaran untuk mengkonsumsi produk yang diinformasikan.

Iklan merupakan media komunikasi persuasif yang dirancang sesuai dengan karakter media, segmen pasar, dan kebutuhan masyarakat untuk mendapat tanggapan

positif mengkonsumsi produk untuk membantu tercapainya tujuan pemrakarsa, yaitu keuntungan. Produsen sebagai pemrakarsa mewujudkan iklan untuk mengkomunikasikan
produknya merupakan salah satu bentuk dalam strategi pemasaran. Maksud produsen terhadap tampilan produk yang dipublikasikan melalui periklanan, antara lain:

· Memperkenalkan identitas produk yang diinformasikan dan menjelaskan perbedaan
produk dengan yang lain.
· Mengkomunikasikan konsep produk, yaitu manfaat dan kelebihannya dari segi
fungsional, psikologis, atau nilai pasar sasaran.
· Mengarahkan pemakaian produk baik yang lama atau yang baru kepada pasar sasaran.
· Memberitahukan tempat penjualan atau pembelian untuk merangsang ditribusi yang
lebih luas.
· Meningkatkan penjualan yang berarti pula produk meningkat.
· Membangun citra produk dan menjaga kemampuan posisi produk dalam pandangan
pasar sasaran
· Menghadapi dan mengatasi masalah saingan antar produk


Sumber :

Fungsi Iklan dalam Pemasaran

Pepsi Commercial : Pepsi Commercial 1960’s

Pada tingkat perintisan, iklan harus mampu memperkenalkan kepada konsumen mengenai produk apa yang akan atau sedang dipasarkan. Disini citra sebuah produk memang dipertaruhkan, banyak para pengiklan dan produsen yang mengharapkan bahwa konsumen ‘jatuh cinta’ saat pandangan pertama. Kemudian pada tahap kedua (kompetitif), materi iklan harus mampu seoptimal mungkin menunjukan keunggulan suatu produk yang ditawarkan serta keistimewaan yang dimilikinya. Sedangkan pada tahap ketiga, iklan diharapkan mampu mempertahankan perhatian dari calon konsumen yang telah terbentuk berdasarkan tahap pertama dan kedua. Dengan lain perkataan, fase ketiga merupakan penentu, di mana calon konsumen yang sudah mengenali suatu produk dan mengetahui keunggulan komparatif yang dimilikinya –serta mampu mengingat-ingat semua kebaikan produk—maka proses pengambilan keputusan akan berlangsung.

Konsep menghidangkan iklan seperti yang ditawarkan Otto Kleppner merupakan suatu proses yang utuh, semacam mata rantai. Berpangkal dari situ bagaimana jika pada pandangan pertama –tahap perintisan atau pengenalan—sebuah iklan sudah dipandang tidak etis. Sudah tentu ini akan membawa pengaruh yang kurang menguntungkan pada tahap-tahap selanjutnya.

Pada fase kompetitif misalnya, iklan yang tak etis bukan mustahil akan diremehkan calon konsumen, apalagi jika merek dari produk itu baru pertama kali dilempar ke pasaran ( sementara masyarakat sudah ‘jatuh cinta’ dengan produk merek lain yang sejenis). Dan akan semakin parah jika iklan yang tak etis dibiarkan eksis sampai pada tahap ketiga (The Rentitive Stage), karena masyarakat hanya mengingat-ingat ketidaketisan dari sebuah iklan.

 

Sumber :

The Advertising Spiral


Pepsi Commercial : Pepsi Commercial 1970’s

“Advertising can be used to build up a long-term image for a product or trigger quick sales ”.

Artinya, iklan dapat digunakan untuk membangun citra jangka panjang untuk suatu produk atau sebagai pemicu penjualan-penjualan cepat. Disadari atau tidak, iklan dapat berpengaruh tetapi juga dapat berlalu begitu cepat. Iklan sangat unik karena iklan dapat mencapai tujuan meskipun disampaikan dengan panjang lebar dan terkadang membingungkan. Karena kita membayar iklan maka kita dapat memilih media yang sesuai untuk pemasangan atau penayangan iklan, sehingga pesan di dalamnya dapat sampai pada kelompok sasaran yang dituju.

Kita membuat iklan untuk memberi informasi kepada masyarakat, membujuk, mengingatkan, memberikan nilai tambah, dan mendukung usaha promosi lainnya. Namun dalam membuat iklan kita harus patuh pada kode etik periklanan, seperti jujur, tidak boleh menyesatkan, antara lain dengan memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabuhi, dan memberikan janji yang berlebihan, bertanggung jawab, tidak bertentangan dengan hukum, mematuhi UU dan peranturan pemerintah yang berlaku, pencantuman harga sebenarnya, dan sebagainya.

 

Sumber : Iklan Indonesia

Pepsi Commercial : Pepsi ad 1985 Michael J. Fox

Tugas utama yang diemban oleh sebuah iklan adalah bagaimana ia mampu menangkap perhatian (to capture attention) khalayak. Kemudian setelah itu, tugas kedua adalah mempertahankan perhatian (to hold attention) yang telah didapat. Lalu, memakai kondisi-kondisi tersebut untuk meggerakkan calon konsumen bertindak (to make usefull), yakni mengkonsumsi produk atau memakai jasa yang ditawarkan.

Tugas-tugas yang lebih merupakan tujuan objektif dari iklan, seperti disebut diatas, jelas membutuhkan perangkat atau instrumen yang kompleks. Pada tahap memburu perhatian khalayak, unsur-unsur di dalam iklan seperti: warna, foto, model, naskah, ukuran, bentuk-bentuk huruf dan masih beberapa lagi lainnya, merupakan unsur potensial yang bisa dimodifikasi (bahkan dimanipulasi) untuk menggiring perhatian khalayak penerima iklan.

Untuk mempertahankan perhatian yang telah diterima, biasaya pengiklan menggunakan teknik pengulangan, yakni dengan berkali-kali menampilkan iklannya. Sedangkan untuk menggerakkan konsumen bertindak, biasanya pengiklan menyerukan bahwa produk yang ditawarkan (bisa juga dalam bentuk jasa) memiliki keuntungan komparatif yang lebih unggul dibandingkan produk/jasa lainnya yang sejenis. Masih banyak kiat lain yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan itu.

Sumber :

Tendensi Gigantisme dalam Periklanan

Pepsi Commercial : Spot Pepsi

Ketika sebuah iklan dalam visualisasinya menggunakan pendekatan parodi, kesan yang muncul di benak pemirsa atau calon konsumen adalah sebuah tayangan iklan yang dikerjakan dengan konsep ‘’main-main’’, guyonan, lucu, dan segar. Efeknya, menurut Heru seperti dicatat harian Media Indonesia (26/10/1999) sangat positif. Sebab, pesan verbal atau pun visual yang ingin disampaikan dapat menancap kuat di benak khalayak. Bahkan beberapa idiom verbal atau pun visual iklan tersebut menjadi ungkapan populer yang sering digunakan dalam perbincangan sehari-hari.

Menurut Linda Hutcheon dalam artikelnya berjudul A Theory of Parody seperti disitir Yasraf A. Piliang (1999:155), dikatakan bahwa sejatinya parodi adalah sebuah relasi formal atau struktur antara dua teks. Artinya, sebuah teks baru diciptakan sebagai hasil dari sebuah sindiran, plesetan atau unsur lelucon dari bentuk, format atau rujukan teks.

Dengan demikian, sebuah teks atau karya parodi biasanya lebih menekankan aspek penyimpangan atau plesetan dari teks atau karya rujukan yang biasanya serius (Tinarbuko, 2006:90).

Sumber :

Ekasekusi Iklan dengan Pendekatan Parodi

Pepsi Commercial : Roberto Carlos

Antropolog Edward Burnett Taylor pernah mengemukakan sebuah definisi mengenai kebudayaan. Dalam perspektif antropolog ini, kebudayaan dijabarkannya sebagai “…keseluruhan yang kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, kesusilaan, hukum, adat dan setiap kemampuan serta kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.

Kebudayaan (culture) memiliki tiga wujud, yakni (1) sebagai suatu kompleks ide-ide, gagasan, norma-norma, peraturan, dan sebagainya, (2) sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan yang berpola dari manusia di dalam masyarakat, (3) sebagai benda-benda hasil karya manusia.

Bersandar pada ragam definisi mengenai kebudayaan yang ada, maka tidak bisa dipungkiri bahwa periklanan dan segala aspek yang menyelimutinya adalah juga salah satu wujud kebudayaan. Bahkan jauh-jauh hari sebelum periklanan dibicarakan banyak orang, Nuradi yang dikenal sebagai “Bapak” periklanan Indonesia modern sudah mengapungkan istilah “The Culture of Advertising” atau “kebudayaan iklan”. Dalam sebuah tulisannya, Nuradi memandang bahwa kebudayaan iklan merupakan suatu gejala yang timbul karena kemajuan ekonomi masyarakat (majalah Prisma, Juni 1977).

Dalam periklanan kita mengenal beberapa jenis iklan. Astrid S. Susanto (1989) mengelompokkannya menjadi dua, yakni iklan yang bertujuan untuk memperkenalkan suatu lembaga (corporate advertising) dan iklan yang memperkenalkan suatu produk, baik berupa barang atau jasa (generic advertising). Dari pemahaman kita mengenai diferensiasi keduanya, maka jelas bahwa iklan yang bertujuan memperkenalkan suatu produk (tentu agar diketahui masyarakat dan setelah itu masyarakat diharapkan mau mengkonsumsinya) “menginduk” pada kebudayaan pop. Sebabnya, iklan-iklan produk digarap dan setelah itu disebarkan dengan tujuan yang sifatnya komersial dan berorientasi pada kalkulasi bisnis.

Menilik perkembangan iklan-iklan produk, dengan melihat tampilan-tampilannya di media massa (cetak maupun elektronik), tampak bahwa unsur-unsur kebudayaan daerah sudah “dilirik” oleh pihak pengiklan. Namun bukan berarti unsur-unsur kebudayaan pop tidak terwakili di dalam tampilan-tampilan iklan produk. Jelasnya, unsur-unsur kebudayaan daerah sudah mulai dijadikan materi atau bahan meramu sebuah iklan produk.

Khusus menunjuk pada iklan-iklan produk, upaya mengintegrasikan unsur-unsur kebudayaaan daerah yang merupakan kebudayaan adiluhung, lebih terkesan sebagai usaha eksploitasi –yang jika tidak dilandasi kesadaran menjunjung nilai-nilai kebudayaan daerah– pada akhirnya bisa dianggap sebagai usaha melecehkan!.

Sumber :

The Culture of Advertising

Pepsi Commercial : New Pepsi Soccer Commersial

Tujuan pamungkas yang direkayasa dari proses komunikasi promosi melalui iklan adalah terciptanya respons positif calon konsumen di pasaran. Pesan iklan yang disalurkan diharapkan mampu menghasilkan tanggapan yang efektif (effective response). Artinya, secara akumulatif calon konsumen tergerak untuk mengkonsumsi produk yang ditawarkan.

Berorientasi pada tujuan komunikasi periklanan yang barusan kita singgung, maka memilih dan menempatkan model iklan merupakan salah satu tugas yang integral dengan fase-fase menyusun strategi beriklan, model iklan juga merupakan “sumber” (source) dari pesan-pesan yang akan dilancarkan. Pendeknya, langsung atau tidak langsung, tersamar atau transparan, model iklan bertindak pula sebagai komunikator.

Apabila kita mau mampir sebentar di terminal teori-teori komunikasi, kemudian membatasi pemikiran pada ihwal proses komunikasi itu sendiri, maka akan diperoleh formulasi-formulasi ideal. Dikatakan, peran komunikator sebagai komponen utama akan dipandang efektif bila di dalam proses komunikasi tersebut terdapat unsur kepercayaan kepada komunikator (source credibility) dari khalayak penerima pesan. Selain itu, sebagai unsur kedua, kemampuan komunikator menciptakan daya tarik (source attractiveness) juga memiliki peran strategis.

Baik kepercayaan maupun daya tarik, semuanya lebih ditentukan oleh posisi diri dan kepentingan para penerima pesan. Bila ingin mendapatkan informasi yang benar dan obyektif, maka kredibilitas komunikator dapat diukur dari back-ground, pendidikan misalnya, yang akan mempengaruhi tingkat kepercayaan. Unsur daya tarik komunikator akan dijadikan pertimbangan oleh khalayak tatkala keinginan menyalurkan apa yang terkandung di dalam sisi emosionalnya mendominasi.

 

Sumber :

Kritik Iklan

Pepsi Commercial : Love Hurts

Iklan merupakan bagian dari pemasaran suatu produk. Pemasaran dalam perspektif Martadi (2001:142), intinya adalah bagaimana menciptakan segmen pasar. Periklanan selain merupakan kegiatan pemasaran juga berupa aktivitas komunikasi. Dari segi komunikasi, rekayasa unsur pesan sangat tergantung dari siapa khalayak sasaran yang dituju serta melalui media apa iklan tersebut sebaiknya disampaikan. Karena itu, untuk membuat komunikasi menjadi efektif, pemahaman tentang khalayak sasaran, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, merupakan prasyarat yang bersifat mutlak.

Pemahaman secara kuantitatif akan menjamin bahwa jumlah pembeli dan frekuensi pembelian yang diperoleh, akan sejalan dengan target penjualan yang telah ditetapkan. Sedangkan pemahaman secara kualitatif akan menjamin bahwa pesan iklan yang disampaikan senantiasa sejalan dengan tujuan pemasaran yang telah disepakati.

Iklan pada dasarnya adalah produk kebudayaan massa, produk kebudayaan masyarakat industri yang ditandai oleh produksi dan konsumsi massa. Kepraktisan dan pemuasan jangka pendek antara lain merupakan ciri–ciri kebudayaan massa. Artinya, massa dipandang tidak lebih sebagai konsumen. Maka hubungan antara produsen dan konsumen adalah hubungan komersial semata. Pendeknya, tidak ada fungsi hubungan lain selain memanipulasi kesadaran, selera, dan perilaku konsumen (Tinarbuko, 1995:1). Dengan demikian, untuk merangsang proses jual beli atau konsumsi massal itulah iklan diciptakan.

 

Sumber :

Iklan Televisi

Pepsi Commercial : Kaka vs Drogba

Menempelkan atlet, artis atau pelawak terkenal di dalam iklan, lebih disebabkan karena pertimbangan untuk mendongkrak daya tarik iklan. Dalam bukunya Advertising, John W. Crawford mengingatkan pentingnya mengajak khalayak menggunakan daya fantasinya di dalam mempersuasi mereka mengkonsumsi suatu produk.

Dengan gaya fantasi tersebut, mengutip McGuire (pakar media massa), maka akan mempermudah khalayak mengambil peranan pendorong ide (ego enhancing role), dimana khalayak akan mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh-tokoh. Pendapat ini ternyata lebih mengekalkan kiat beriklan yang memilih orang-orang tenar sebagai modelnya. Artis, atlet bahkan pelawak sekalipun, termasuk di dalam barisan orang-orang yang memiliki probabilitas untuk dikagumi masyarakat luas.

Kalau memang begitu, maka ide untuk mengoptimalkan daya tarik yang dimiliki oleh masing-masing model mutlak harus tercuat ke permukaan. Data tarik suaranya, banyolannya, prestasinya atau raut wajahnya, merupakan titik potensial yang bisa digarap secara kreatif untuk tujuan mempersuasi calon konsumen. Hal ini sah saja karena merupakan teknik beriklan yang universal. Kreatif yang di maksud adalah dalam batasan yang tidak meloncati rule of the game yang ada.

Lantas bagaimana dengan iklan yang modelnya kurang dikenal di kalangan masyarakat luas? Sama saja. Ide-ide kreatif masih harus ditonjolkan. Model yang tidak “top” bukan berarti tidak potensial. Terkadang model yang unfamiliar bisa lebih efektif dipakai sebagai komunikator pesan iklan.

Asumsi yang dijadikan panutan adalah karena pada dasarnya manusia menginginkan sesuatu yang baru. Itu kebutuhan manusia yang sudah amat mengakar. Wajah-wajah baru jika dipakai sebagai model iklan, merupan solusi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Namun sejauh itu, dalam hal memilih dan menentukan model iklan, terpulang pada tingkat pemahaman kita terhadap esensi tujuan di dalam komunikasi periklanan. Yang terpenting di dalam periklanan bukanlah menyodorkan model iklannya, tetapi produk serta image yang melekat pada produk itu sendiri.

Mengenai keputusan calon konsumen untuk tidak atau mau mengkonsumsi suatu produk, lebih ditentukan oleh frame of reference dan field of oxperience mereka terhadap produk yang ditawarkan, serta pengaruh psikologis daya tarik iklan yang dimenangkan lewat suatu kompetisi.

 

Sumber :

Daya Tarik Model Iklan

Pepsi Commercial : Bob’s House

Kreatifitas iklan adalah how to say-nya sebuah pesan periklanan atau cara yang dilakukan untuk mengkomunikasikan pesan iklan ( What to say ) kepada audiens. Prinsip pertama kreatifitas dalam sebuah iklan adalah bahwa kreatifitas tidak menciptakan sesuatu dari yang tidak ada. Kreatifitas membuka, memilih, kemudian mengatur kembali, menggabungkan, menghasilkan fakta, keahlian dan ide yang sudah ada sebelumnya. Dalam arti lain bahwa kreatifitas adalah penggabungan ide-ide yang telah ada untuk menciptakan sesuatu yang baru (Roman, Maas & Nisenholtz, 2005).

Menciptakan iklan yang kreatif tidaklah mudah, karena karya iklan merupakan hasil kolaborasi antara penulis naskah dengan pengarah seni atau antara agen dan klien. (Roman, Maas & Nisenholtz, 2005). Oleh karena itu pada tahap brainstorming (pencarian ide yang bebas) dalam sebuah kelompok semua ide ditampung untuk kemudian dinilai ulang.

Biasanya saat brainstorming tim kreatif menggunakan strategi tertentu dalam eksekusi kreatif. Strategi tersebut dengan cara melantur, lanturan disengaja untuk tujuan tertentu dengan tetap menjaga relevansinya, maksudnya adalah melantur sejauh-jauhnya namun merelevansikan sedekat-dekatnya (Hakim, 2005).

Sumber :

Teori Pesan dan Keratifitas